Bisnis.com, JAKARTA - Berawal pada 1990, setahun setelah Sony Corporation Japan mengakuisi Colombia Pictures Entertainment (CPE), dengan transaksi tunai mencapai US$3,4 miliar.
Manajemen Sony Corp -yang kemudian mengubah nama CPE menjadi Sony Picture Entertainment (SPC)- menetapkan kebijakan untuk menyelamatkan lebih dari 3.000 koleksi film, dan 2.600 acara televisi yang diproduksi sejak 1924.
Tim SPC dengan tekun merestorasi seluruh koleksi itu. Lebih dari 22 tahun mereka memperbaiki pita seluloid film dengan ukuran 88mm, 16mm, dan 35mm. Setiap hari mereka memperbaiki film seluloid yang tergores, menghilangkan bercak hitam putih, dan jamur yang melekat di gulungan film yang berusia lebih dari 88 tahun.
Tidak cukup hanya dengan merestorasi, kecanggihan teknologi yang didorong oleh perubahan zaman membuat tim SPC turut mendigitalisasikan seluruh film seluloid produksi sineas Hollywood itu, sehingga dapat menjadi dokumentasi yang dapat terus diakses pada masa depan.
Hasil kerja keras dan dukungan dana yang luar biasa besar membuat generasi muda saat ini dapat dengan mudah mengakses film klasik Hollywood mulai dari Lawrance of Arabia, Funny Girl, In Cold Blood, hingga On The Waterfront, dalam bentuk digital.
Kesadaran untuk memandang film sebagai bagian dari dokumentasi sejarah ternyata belum begitu mendapatkan perhatian di Indonesia. Buktinya, saat menyoal dokumentasi film produksi dalam negeri, para sineas dan para pelaku di industri ini akan memandang miris lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara, Sinematek Indonesia.
Sejak didirikan oleh Asrul Sani dan Misbach Yusa Biran pada 1972 -lembaga nirlaba yang bernaung di bawah Yayasan Pusat Perfilman Usmar Ismail- mengumpulkan ratusan film yang diproduksi sineas Tanah Air mulai dari 1926 hingga sekarang.
Ribuan film koleksi Sinematek terdiri dari 548 judul berbentuk film negatif, yakni gambar dan suara masih terpisah. Menyusul, 187 judul film berbentuk film positif, di mana suara dan gambar sudah digabung, dan sisanya masih belum terdata dengan baik.
Proses dokumentasi berupa restorasi dan digitalisasi sejumlah film karya Usmar Ismail yakni Darah dan Doa (The Long March), Tuan Besar, dan Tiga Dara memang dirintis sejak kepemimpinan Misbach Yusa Biran, dan diteruskan saat Sinematek dipimpin oleh Berthy Ibrahim Lindia.
Meskipun demikian, kondisi film seluloid koleksi Sinematek sangat miris. Upaya para staf dokumentasi film yang memuat perjalanan sejarah bangsa, tidak lebih dari merawat dengan memutar film setiap empat bulan sekali, agar seluloid tidak mengeras, dan menjaga suhu ruang koleksi maksimal 10 derajat Celsius.
Buruknya kondisi pengarsipan film nasional ini diakui oleh sutradara film Lola Amaria. Dia menilai pengarsipan film itu buruk. Seharusnya, dari sistem seluloid, mereka penyimpanannya harus benar, termasuk suhu ruangnya, cara menyimpannya, cara pengecekannya harus dilakukan berkala.
"Harus ada petugas yang memang benar-benar menjaga film-film itu supaya kualitasnya tetap bagus. Sayangnya, di tidak ada. Jadi, film-film lama yang bagus-bagus itu dibiarkan, sehingga kualitasnya jadi buruk, bahkan tidak bisa diputar. Dan, mereka tidak melakukan digitalisasi. Mungkin karena mahal,” tuturnya.
Menurutnya, di Indonesia masih belum mementingkan arsip apalagi dokumentasi film, berbeda dengan Belanda atau Amerika Serikat. “Kita sangat buruk untuk mengorganisir. Misalnya, untuk restorasi film-filmnya Usmar Ismail, bagian yang menaungi film di Kementerian Pariwisata pada waktu itu hanya menyumbang beberapa puluh juta. Sementara itu, yang lebih banyak menyumbang justru Singapura. Berarti kan terlihat bahwa kepedulian pemerintah memang kurang,” ujarnya.
Dia mengungkapkan Singapura yang membiayai restorasi film Tiga Dara dan beberapa film Usmar Ismail yang lain karena, Menparekraf pada waktu itu malah tidak peduli bahwa efek dari restorasi itu sangat besar. “Jadi, ini kembali lagi pada pemikiran atau mental awal. Bagi saya, arsip itu penting sekali. Kita harus tahu masa lalu kita, sebelum kita menjalani hari ini. Contohnya saya, yang sudah umur segini saja masih tidak tahu banyak apa yang sebenarnya pernah terjadi pada dunia perfilman Indonesia di masa lalu,” jelasnya.
Lola mengakui proses dokumentasi film membutuhkan dana besar dan perlu dukungan pemerintah. Dia mencontohkan di Amerika, pemerintah, dan swasta termasuk sekolah perfilman membantu menanggung biaya penyimpanan dan perawatan arsip film. “Mereka sadar bahwa mengarsip film itu tidak murah. Selain butuh storage, juga butuh teknologi tinggi. Dan, orang yang bekerja di pengarsipan film juga harus yang benar-benar teliti. Tidak bisa hanya sekadar ‘buka pintu, kunci pintu, tutup pintu’ terus selesai. Harus benar-benar teliti, karena pastinya jumlah arsip filmnya ribuan,” katanya.
Campur Tangan Negara
Kepala Sinematek Adisoerya Abdi mengakui kurangnya perhatian dan konsistensi pemerintah dalam mendukung perbaikan manajemen pengarsipan film nasional. “Jadi kalau bicara update, sebenarnya kami lebih pada memaksimalkan perawatan, merapikan yang tidak rapi, kemudian menyosialisasikan Sinematek Indonesia kepada individu, komunitas, perguruan tinggi, stasiun TV yang berkaitan dengan intelektual dan edukasi,” tuturnya.
Menurutnya, untuk pengarsipan film, Sinematek lebih kepada memaksimalkan perawatan dan pengobatan dengan memanfaatkan unsur kimia mutakhir di dalam merawat film-film seluloid. Kemudian, sejumlah film yang dianggap perlu untuk dialihmediakan maka akan diproses digitalisasi.
“Saat ini, digitalisasi sudah dilakukan pada lebih dari 100 judul film atau 10%. Semua itu dilakukan secara internal. Kami bermitra dengan Yayasan Film Indonesia. Pemerintah ada bantuan, tetapi bantuannya sesuai permintaan. Kalau kami ‘rajin’ meminta, misalnya minta 10, nanti dibantunya paling satu atau dua film. Namun, kalau kepedulian nyata secara pasti dan rutin sampai sekarang belum ada. Kalau kami tidak minta, ya tidak dikasih,” ungkapnya.
Adisoerya mengatakan kebutuhan dana untuk perawatan film dalam sebulan tidak lebih dari 10 juta untuk pembelian obat perawatan film, dan upah pekerja.
Masih lekat dalam ingatan pada 2011, film perjuangan Lewat Djam Malam, -salah satu koleksi Sinematek- berhasil direstorasi oleh jaringan perfilman internasional yakni L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia dan World Cinema Foundation—lembaga yang dibentuk oleh sutradara senior Martin Scorsese di Cannes 2007. Film hasil restorasi ini kemudian ditayangkan pada gelaran bergengsi Cannes, 2011.
Saat itu, Berthy Ibrahim Lindia, yang menjabat sebagai Kepala Sinematek, menuturkan biaya digitalisasi satu film membutuhkan dana hingga Rp100 juta. Sementara itu, untuk kebutuhan restorasi membutuhkan dana dikisaran Rp450 juta – Rp3 miliar per film.
Adisoerya mengungkapkan kondisi pengarsipan film nasional tertinggal jauh dari luar negeri. Dari sisi fasilitas, teknologi, dan dukungan dana dari pemerintah sangat jauh tertinggal.
“Semakin baik kami memelihara film itu, maka akan semakin bermanfaat untuk generasi dan negara. Namun, kendalanya adalah sampai hari ini kami berjalan independen, yang anggarannya sangat-sangat terbatas. Jadi yang kami butuhkan adalah kepedulian tetap dari pemerintah, dalam hal ini, yang membawahi film; Kemendikbud. Kalau Kemendikbud secara tetap setiap tahun memberikan bantuan untuk perawatan dan alih media per bulan, itu akan sangat membantu,” tegasnya.
Mendesaknya pembenahan manajemen arsip film nasional ternyata mendapatkan perhatian pemerintah. Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maman Wijaya mengatakan tengah memfinalisasi peraturan menteri tentang pengarsipan film, sebagai turunan dari Undang-undang No. 33/2009 tentang Perfilman. “Finalisasi peraturan menteri akan diujui publik pada April. Dari sisi teknis, kami sudah mempersiapkan anggaran dan program,” ujarnya.
Dia mengatakan beberapa langkah akan dilakukan pemerintah yakni, pertama, menargetkan dapat mendigitalisasi 36 film dengan anggaran yang sudah disiapkan Rp450 juta. Kedua, restorasi satu film dengan anggaran yang sudah disiapkan Rp1 miliar.
“Berdasarkan masukan dari Sinematek, ada 20 film yang perlu segera direstorasi. Salah satunya, film Loetoeng Kasaroeng yang dirilis 1926. Film yang direstorasi yakni yang memiliki nilai sejarah dan kondisinya kerusakan parah,” ujarnya.
Ketiga, merencanakan membangun tempat penyimpanan yang memadai dalam bentuk museum film, perpustakaan film, dan gudang penyimpanan. “Tahun ini harus sudah ditentukan lokasi museum dan perpustakaan film dengan luas lahan 50 hektar.
Pembangunan baru direncanakan pada tahun depan. Museum berisi alat-alat kuno yang digunakan untuk produksi film, pemutaran film lawas, hingga poster-poster film lama.
Sementara perpusatakaan film akan mendukung dari sisi literasi. Memberikan bahan dokumentasi tentang film. Museum dan perpustakaan dapat diakses ke publik. Sementara gudang penyimpangan sebagai gudang arsip kami,” jelasnya.
Rencana pemerintah ini merupakan hal positif bagi para pihak. Semoga saja rencana itu tidak sekadar menjadi angin surga yang melenakan, dan menegaskan pendapat sutradara kondang Teguh Karya yang dituliskannya dalam bentuk artikel yang diterbitkan oleh Berita Minggu Film, 35 tahun lalu. Dalam salah satu paragraf artikelnya Teguh menulis, “Tidak ada perubahan sikap dan arah dalam memandang media film, lebih jauh dari sekedar barang dagangan”.
Miris betul jika film Indonesia masih dianak tirikan.
No comments:
Post a Comment